Pemerintah akhirnya menetapkan awal Ramadan 1433 Hijriyah pada Sabtu, 21 Juli 2012. Penetapan jatuhnya awal Ramadan ini berdasarkan laporan melihat bulan (rukyat al-hilal) yang dilakukan petugas Kementerian Agama di seluruh wilayah Indonesia.
Sejumlah organisasi massa Islam juga sepakat bahwa awal Ramadan jatuh pada Sabtu. Namun, Dewan Pimpinan Muhammadiyah, Front Pembela Islam dan sejumlah ormas Islam lain menetapkan 1 Ramadan jatuh pada Jumat, Jamaah An-Nadzir di Gowa, Sulawesi Selatan mulai Rabu, dan Jamaah Naqsabandiyah di Padang mulai Selasa.
Sejumlah organisasi massa Islam juga sepakat bahwa awal Ramadan jatuh pada Sabtu. Namun, Dewan Pimpinan Muhammadiyah, Front Pembela Islam dan sejumlah ormas Islam lain menetapkan 1 Ramadan jatuh pada Jumat, Jamaah An-Nadzir di Gowa, Sulawesi Selatan mulai Rabu, dan Jamaah Naqsabandiyah di Padang mulai Selasa.
Menteri Agama Suryadharma Ali dalam pengumuman Kamis malam, 19 Juli mengatakan, hampir semua petugas yang berasal dari seluruh Kantor Wilayah Kementerian Agama dan Kantor Kementerian Kabupaten/Kota tak melihat adanya hilal (bulan), tanda memasuki bulan suci. "Hilal tidak bisa dilihat, karenanya 1 Ramadan jatuh pada Sabtu 21 Juli," katanya.
Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama Ahmad Jauhari menjelaskan bahwa dari hasil peneropongan hilal pada Kamis pukul 11.24 WIB, posisi hilal berada 0 sampai 1 derajat di atas ufuk. Ini merupakan hasil rukyat dari 38 tempat, seperti Papua Barat, NTB, Bali, Kalimantan Tengah dan Timur, Sulawesi Tengah, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Sukabumi.
Pengamatan di Observatorium Boscha, Lembang, Bandung, juga memperlihatkan hilal masih berada di bawah dua derajat.
Ketua Umum Asosiasi Dosen Falaq Indonesia Ahmad Izzudin mengatakan, Saat maghrib, Kamis, 19 Juli atau bertepatan dengan 29 Sya'ban, tinggi hilal di seluruh Indonesia berdasarkan hisab astronomis muktabar (kontemporer) posisi hilal masih di bawah 2 derajat, sehingga hilal sangat tidak mungkin dilihat. Hilal baru bisa dilihat bila sudah lebih dari 2 derajat di atas ufuk. "Jadi Ramadan jatuh pada 21 Juli," katanya saat dihubungi VIVAnews melalui sambungan telepon, Jumat malam.
Dia mengatakan, sebagian jamaah menetapkan Ramadan hanya berdasarkan perhitungan (hisab), sehingga ada sebagian umat muslim yang mulai awal Ramadan Jumat.
Metode hisab rentan tidak akurat karena hanya memperhatikan penghitungan aritmatika bahwa perputaran bulan terhadap bumi 29,5 hari, sehingga bulan Hijriyah selalu 29 dan 30 hari. Metode ini tidak memperhatikan dinamika bulan yang sesungguhnya.
Karena itu, dosen ilmu falaq Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang ini mengatakan,rukyat al-hilal penting untuk memverifikasi hisab yang sudah ada. "Itu sebabnya pemerintah melakukan pengamatan hilal," katanya.
Karena itu, dosen ilmu falaq Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang ini mengatakan,rukyat al-hilal penting untuk memverifikasi hisab yang sudah ada. "Itu sebabnya pemerintah melakukan pengamatan hilal," katanya.
Sementara itu argumentasi Muhammadiyah menetapkan Ramadan jatuh pada Jumat tak lain karena pergantian bulan telah terjadi pada Kamis siang, 19 Juli 2012. Ini sesuai hisab hakiki wujudul hilal yang dipakai Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Menurut hisab hakiki, ijtimak jelang Ramadan terjadi pada hari Kamis, 19 Juli pukul 11.25.24 WIB. Ijtimak atau disebut pula konjungsi geosentris adalah peristiwa dimana bumi dan bulan jika diamati dari bumi berada di posisi bujur langit yang sama. Ijtimak terjadi setiap 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu bulan sinodik.
Selain itu, laman resmi PP Muhammadiyah juga menyatakan, tinggi bulan pada saat matahari terbenam di Yogyakarta adalah 1 derajat 38' dan 40" di atas ufuk alias hilal sudah wujud. "Di seluruh wilayah Indonesia pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk," tulis keterangan resmi itu. Dengan demikian, Jumat sudah masuk 1 Ramadan sebagai awal bulan puasa.
Jangan diperbesar
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidan meminta masyarakat tidak mempermasalahkan perbedaan awal Ramadan. Masyarakat harus saling menghormati perbedaan penafsiran ini. "Kami minta kepada masyarakat jangan dipertajam, jangan dibesar-besarkan," kata Amidan saat berbincang dengan VIVAnews, Kamis.
Menurut Amidan, penentuan awal Ramadan memiliki dasar hukum dan metode masing-masing, sehingga perbedaan mungkin saja terjadi. "Jangan sampai merasa paling benar, karena semua ada dasar hukumnya," ujarnya.
Pemikir muda bidang keislaman Dr. Zainul Adzfar menilai agama hanyalah metode menuju Tuhan, bukan tujuan, sehingga perbedaan penafsiran tentu hal lumrah. "Perbedaan puasa bukan barang aneh, sudah dari dulu seperti itu," katanya. Apalagi, katanya, Tuhan tidak mungkin didekati hanya dengan sesuatu yang pasti, sehingga perbedaan pasti muncul.
Gerakan Pemuda Ansor juga meminta perbedaan awal Ramadan tidak diperuncing. Menurut dia, ini hanya masalah keyakinan. GP Ansor menghormati warga Muhammadiyah yang mengawali puasa Ramadan terlebih dulu dari umat Islam lainnya.
"Ibadah itu masalah keyakinan," kata Ketua Umum GP Ansor Nusron Wahid, Kamis.
Bagi Nusron, perbedaan pendapat dan keyakinan dalam beragama, apalagi hanya menyangkut penetapan awal Ramadan dan Lebaran merupakan hal yang biasa. Menurut Nusron, antara NU, Muhammadiyah, dan umat lainnya mempunyai metodologi dan paradigma masing-masing.
"Inilah bagian dari konsep Islam yang rahmatan li al-alamin. Semua pasti ada hikmah dan manfaatnya," kata Nusron Wahid yang juga anggota Fraksi Partai Golkar ini.
Karena itu, Ansor berharap masalah perbedaan ini tidak dibesar-besarkan dan ditafsirkan yang berlebihan. Masing kelompok punya pendapat dan hak menafsirkan. Jangan jadikan masalah ini memperuncing problem keumatan di bawah. "Ini masalah biasa," kata dia.
Menurut hisab hakiki, ijtimak jelang Ramadan terjadi pada hari Kamis, 19 Juli pukul 11.25.24 WIB. Ijtimak atau disebut pula konjungsi geosentris adalah peristiwa dimana bumi dan bulan jika diamati dari bumi berada di posisi bujur langit yang sama. Ijtimak terjadi setiap 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu bulan sinodik.
Selain itu, laman resmi PP Muhammadiyah juga menyatakan, tinggi bulan pada saat matahari terbenam di Yogyakarta adalah 1 derajat 38' dan 40" di atas ufuk alias hilal sudah wujud. "Di seluruh wilayah Indonesia pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk," tulis keterangan resmi itu. Dengan demikian, Jumat sudah masuk 1 Ramadan sebagai awal bulan puasa.
Jangan diperbesar
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidan meminta masyarakat tidak mempermasalahkan perbedaan awal Ramadan. Masyarakat harus saling menghormati perbedaan penafsiran ini. "Kami minta kepada masyarakat jangan dipertajam, jangan dibesar-besarkan," kata Amidan saat berbincang dengan VIVAnews, Kamis.
Menurut Amidan, penentuan awal Ramadan memiliki dasar hukum dan metode masing-masing, sehingga perbedaan mungkin saja terjadi. "Jangan sampai merasa paling benar, karena semua ada dasar hukumnya," ujarnya.
Pemikir muda bidang keislaman Dr. Zainul Adzfar menilai agama hanyalah metode menuju Tuhan, bukan tujuan, sehingga perbedaan penafsiran tentu hal lumrah. "Perbedaan puasa bukan barang aneh, sudah dari dulu seperti itu," katanya. Apalagi, katanya, Tuhan tidak mungkin didekati hanya dengan sesuatu yang pasti, sehingga perbedaan pasti muncul.
Gerakan Pemuda Ansor juga meminta perbedaan awal Ramadan tidak diperuncing. Menurut dia, ini hanya masalah keyakinan. GP Ansor menghormati warga Muhammadiyah yang mengawali puasa Ramadan terlebih dulu dari umat Islam lainnya.
"Ibadah itu masalah keyakinan," kata Ketua Umum GP Ansor Nusron Wahid, Kamis.
Bagi Nusron, perbedaan pendapat dan keyakinan dalam beragama, apalagi hanya menyangkut penetapan awal Ramadan dan Lebaran merupakan hal yang biasa. Menurut Nusron, antara NU, Muhammadiyah, dan umat lainnya mempunyai metodologi dan paradigma masing-masing.
"Inilah bagian dari konsep Islam yang rahmatan li al-alamin. Semua pasti ada hikmah dan manfaatnya," kata Nusron Wahid yang juga anggota Fraksi Partai Golkar ini.
Karena itu, Ansor berharap masalah perbedaan ini tidak dibesar-besarkan dan ditafsirkan yang berlebihan. Masing kelompok punya pendapat dan hak menafsirkan. Jangan jadikan masalah ini memperuncing problem keumatan di bawah. "Ini masalah biasa," kata dia.
fokus.news.viva.co.id
0 komentar:
Posting Komentar