"Maaf, saya terlambat memberi kabar. Ada kesibukan yang teramat nyata yang harus saya jalani di kampus. Sekali lagi, maaf, saya baru sempat."
Kurang lebih SMS itulah yang kubaca dari salah seorang teman SMA-ku
dulu.
Kata-kata yang terangkai dalam SMS itu cukup membuatku geli. Kalimat itu cukup santun, esensi dari kalimat itu pun tak sekali ini aku mendengar atau pun membacanya. Bukan lagi dari 1 atau 2 orang, bahkan lebih. Hmm, dan mungkin aku pun pernah berucap seperti itu, seingatku lebih dari sekali juga.
Kata-kata yang terangkai dalam SMS itu cukup membuatku geli. Kalimat itu cukup santun, esensi dari kalimat itu pun tak sekali ini aku mendengar atau pun membacanya. Bukan lagi dari 1 atau 2 orang, bahkan lebih. Hmm, dan mungkin aku pun pernah berucap seperti itu, seingatku lebih dari sekali juga.
Ada hal yang menarik, cukup menginspirasi. Kalimat itu mengajakku merenung. Ya, aku sempat tak habis pikir. Pernah diri ini mengaku sibuk, padahal statusku masih mahasiswa. Tentu ucapanku ini belum bersesuaian. Bahkan aku menghakimi diri sendiri karena berucap itu. Kenapa? Karena dalam paradigmaku, kalau saat mahasiswa saja sudah berani mengaku sibuk, maka bagaimana jika sudah bekerja dan berumah tangga?
Berbicara masalah berkeluarga, maka ada dua kosakata yang menjadi kunci, yaitu waktu dan tanggung jawab. Kalau seseorang sudah berkeluarga, bertambahlah amanahnya. Bagi seorang laki-laki, ada amanah untuk menjemput rejeki, menjadi ayah bagi anak-anaknya, menjadi suami bagi isterinya, menjalani profesi pekerjaannya, menjadi anak bagi ayah ibunya, dan jika ia adalah sosok orang yang andil dan berpengaruh terhadap lingkungannya, maka amanah-amanah itu belum masuk hitungan. Ya, begitu pula dengan wanita.
Sekali lagi, aku sampai tak habis pikir, masih berstatus mahasiswa saja sudah berani mengaku sibuk. Sekali pun bukan mahasiswa biasa, dalam arti tak hanya belajar akademik, tapi juga non akademik. Tapi itu sungguh bukan alasan bagiku untuk mengaku sibuk. Waktuku sebagai mahasiswa dengan waktu mereka yang sudah berkeluarga, pun dengan waktu para pemimpin bangsa tetap sama. Sehari 24 jam. Padahal tanggung jawab mereka tentu melebihi diriku.
Jangan mudah berkata sibuk. Karena Rasulullah tidak pernah mengajarkan kita seperti itu. Aku masih bisa membayangkan semulia apa sosok beliau. Dengan berbagai macam amanah dan tanggung jawab yang ada di pundak beliau, tetap, tetap peduli dan selalu melayani. Beliau, seorang pengelola bisnis yang diinvestasikan bunda Khadijah. Beliaulah enterpreneur dengan sifat nabawi, shiddiq (jujur), amanah (capable), fathanah (smart), dan tabligh (informatif).
Beliau, seorang panglima perang, selama 10 tahun di Madinah ada sekitar 300-an detasemen yang beliau bentuk dan berangkatkan. Beliaulah pemimpin negara yang saat menjadi imam shalat, masih sempat bertanya, "Di mana si Fulan? Mengapa ia tidak nampak?" Namun, tetap, beliau begitu tak lalai dalam mengemban amanahnya yang lain, sebagai suami, ayah, teman, dan tetangga. Dan, bandingkan dengan kita, sungguh, belum seberapa.
"Maaf, saya sibuk." Ya, tiga kata yang bisa membuat jiwa-jiwa yang mengharap uluran tangan kita menjadi sungkan meminta bantuan kita. Tiga kata yang mampu membuat saudara yang semula ingin berbagi duka dengan kita, kini menjadi enggan karena khawatir makin menyita waktu kita. Ingatkah? Dalam tiap waktu kita, ada hak-hak saudara kita. Dan bisa jadi 3 kata itu menjadi alasan kita untuk lalai memenuhi hak mereka. Tiga kata yang mungkin sering menjadi alasan untuk kita lupa melantunkan bait-bait do'a untuk saudara-saudara kita.
Tidak baik jika aku mengeluh dengan mengaku sibuk dan tidak baik jika kepedulian ini merapuh dengan mengaku sibuk. Karena itu, jangan mudah mengaku sibuk, karena masih banyak sisi kehidupan yang belum terjamah. Masih banyak tantangan ummat yang belum terselesaikan. Karena Islam membutuhkan kontribusi kita lebih besar. Ya, menjadi sebaik-baik hamba yang banyak memberi manfaat. Ya, totalitas dalam peduli dan melayani.
oleh : Meralda Nindyasti
http://kotasantri.com
0 komentar:
Posting Komentar